Rabu, 09 Januari 2008


Pergaulan Laki-laki Dengan Perempuan 2
Karya : Yusuf Qaradhawi

Kaum wanita pada zaman Nabi saw. juga biasa menghadiri
shalat Jum'at, sehingga salah seorang diantara mereka ada
yang hafal surat "Qaf." Hal ini karena seringnya mereka
mendengar dari lisan Rasulullah saw. ketika berkhutbah
Jum'at.

Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya
Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil
dan bertakbir.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:

"Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan
mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula
wanita-wanita pingitan dan para gadis."

Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:

"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita
pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,
wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan.
Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak
mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan
dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu
Athiyah) bertanya, 'Ya Rasulullah salah seorang diantara
kami tidak mempunyai jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah
temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1

Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua
negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh
pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka
menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw. yang telah
dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita
pada shalat Id.

Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk
mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw.
Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang
umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah
memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa
malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah
jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid,
istihadhah, dan sebagainya.

Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum
laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga
meminta kepada Rasulullah saw. agar menyediakan hari
tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal
ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw.,
"Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk
bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari
tertentu untuk bertemu denganmu." Lalu Rasulullah saw.
menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu
dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan
perintah-perintah kepada mereka.2

Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan
bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai
dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,
seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan
pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air
minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:

"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh
kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka
makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:

"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat
cekatan membawa qirbah (tempat
air) di punggungnya kemudian
menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4

Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun
menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa
keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi
mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat
diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang
telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut
kemampuan fisik dan psikis sekaligus?

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut
serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut
anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit,
mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi
saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.

Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa
sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam
peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada
kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang
dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab dalam perang
Uhud, sehingga Nabi saw. bersabda mengenai dia, "Sungguh
kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."

Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu
Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim
Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, "Wahai Rasulullah,
ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya
kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya
mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati
saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini." Kemudian
Rasulullah saw. tertawa.5

Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya
mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.

Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut
perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga
atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan
Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan
ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan
risalah Islam.

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. tidur siang di sisi Ummu
Haram binti Mulhan - bibi Anas - kemudian beliau bangun
seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, "Mengapa engkau
tertawa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa
orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi
sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja
naik kendaraan." Ummu Haram berkata, "Wahai Rasulullah,
doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk
diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6

Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada
zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.
Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang)
disana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7

Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta
berdakwah: menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )

Diantara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang
wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang
mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah
pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian
Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya
berkata, "Benar wanita itu, dan Umar keliru." Kisah ini
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat
an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya bagus." Pada masa
pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti
Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.

Orang yang mau merenungkan Al-Qur'an dan hadits tentang
wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para
rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan
tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara
laki-laki dengan perempuan.

Tidak ada komentar: