Rabu, 09 Januari 2008

Wara' di Era Modern


Wara' Di Era Modern


Sehari-hari kita kita digerakkan oleh hasrat meraih sesuatu yang muncul dari keinginan dan cita-cita. Keinginan yang seringkali melebihi batas-batas kewajaran, kesederhanaan yang proporsional. Pada saat yang sama kita sebenarnya telah melampaui batas "manusiawi kehambaan" kita kepada Allah. Berarti kita tidak memiliki sikap Wira'i atau Wara'. Kita sedang bekerja keras dengan ambisi kita untuk meraih kekayaan dan fasilitas yang lengkap. Tetapi ketika ukuran kekayaan itu telah melebihi proporsi yang kita butuhkan sehari-hari, kita telah terlempar dari kewara'an itu sendiri. Wara' dalam bekerja, adalah sikap wajar menjalankan tugas kehidupan secara syar'i, sedangkan jiwa dan nurani kita tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dunia dann keramaian di sisi kita. Seorang yang memiliki Wara', ia selalu menjaga agar tidak berlebihan, baik dalam ucapan, tindakan, hasrat dan keinginan. Rasulullah saw, menggambarkan Kewara'an itu melalui haditsnya yang terkenal, "Salah satu tanda baiknya ke-Islaman seseorang, apabila orang itu meninggalkan hal-hakl yang tidak perlu." Beliau juga melanjuutkan, "Jadilah dirimu orang yang Wara', maka anda akan benar-benar menjadi ahli ibadah." (hr. Ibnu Majah) Banyak orang merasa mendapat peluang yang halal, kemudian ia raup peluang itu tanpa menghiraukan lingkungan sosial, apalagi menghiraukan kecemburuan hati nuraninya yang dicampakkan oleh pesona duniawiyah. Hati kita, ruh kita, sirr kita teramat cemburu ketika kita mulai berpaling kepada iming-iming dunia, walau pun itu halal. Kenapa demikian? Tidak semua yang halal yang ada di depan kita itu ketika menjadi milik kita dinilai sebagai sesuatu yang berkah. Sebab ketika seseorang meliarkan matahatinya pada pemberian Ilahi, yang membuat dirinya justru lupa kepadaNya, pada saat yang sama keberkahan dibalik anugerah itu seperti tercerabut dari akar rizki itu. Kenapa? Karena tiba-tiba ia menjadi manusia kikir, bakhil, pelit, dan egoistis, lalu sombong. Lalu ia lupa diri. Wara', sesungguhnya memiliki makna kehati-hatian. Hati-hati terhadap hal-hal yang halal, apalagi terhadap hal-hal yang haram. Karena itu dalam proses tahapan ruhani, Wara' disebut sebagai awal dari tindakan Zuhud, atau tindakan mencampakkan pesona duniawi dari jiwa hamba Allah Ta'ala. Apakah manusia modern bisa bebas dari syubhat, baik secara syar'y maupun hakiki? Bisa dan mudah. Bahkan saking mudahnya Sufyan ats-Tsaury meegaskan, "Saya tidak melihat yang lebih mudah ketimbang Wara'. Jadi apa yang mengganjak dalam dirimu, tinggalkan saja!". Banyak simpang siur mulai dari soal syariat hingga soal hakikat mengenai sikap hati-hati kita menghadapi kemodernan. Soal-soal yang berkaitan dengan syariat bisa dilihat lebih luwes, tidak radikal dan tidak keras, tanpa mengurangi sikap hati-hati kita. Tetapi soal hakikat, soal kejiwaan dan keruhanian kita, apakah kita hidup di abad modern atau di abad nomaden, abad batu, abad debu, kapasitas psikhologi manusia tetap sama. Justru banyak orang yang larut dalam lumpur modernisme ketika Wara' diabaikan. Modernisme sebagai sesuatu instrument untuk kemajuan manusia, memiliki nilai positip, darimana pun datangnya. Tetapi sikap psikhologi kita menghadapi norma kebebasan yang yang liar telah menumbuhkan ambisi nafsu baru untuk menjadi budak modernitas. Ujungnya adalah kekuasaan, fasilitas, materi, dan eksotisme. Dann itulah penderitaan dan penyakit paling mengerikan. Mestinya manusia modern memiliki ketegasan dan kesahajaan. Ketegasan terhadap hal-hal yang meragukan dan skeptis. Ketegasan terhadap larangan Allah. Ketegasan terhadap hal-hal yang menggalaukan jiwa kita. "Tinggalkan hal-hal yang meragukan, menuju hal yang pasti." Demikian sabda Nabi SAW Karena itu Wara' sesungguhnya menjadi benteng manusia modern. Karena dengan Wara' manusia modern akan memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa, antara lain: Wara' menumbuhkan kesatriaan, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positip. Wara' menjauhkan sikap berlebihan, egoisme, kesombongan, dan ambisi materi. Wara' mendorong manusia untuk menjadi hamba yang merdeka dari kepentingan-kepentingan selain Allah, karena hakikat Wara' adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah. Wara' menghantar kita untuk tulus dan ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah. Karena tanpa wara', ubudiyah kita akan terseret pada hal-hal yang menyimpang, dan jauh dari keikhlasan. Wara' menghilangkan sikap kepura-puraan kita, basa basi kita, penipuan-penipuan kita, kemunafikan kita, kefasikan kita, dan membebaskan diri kita dari penjara nafsu kita. Wara' adalah awal dari ketaqwaan kita. Wara' akan menghantar kita terus menerus memandang Allah dalam setiap hal-hal yang halal. Karena itulah Wara' akan mendorong kita untuk terus bersyukur, sebab dibalik yang kita pandang, ada Nama Allah di sana. Wara' adalah nuansa majlis Ilahi. Karenanya Abu Hurairah mengatakan, "Orang-orang yang berada di majlis Allah kelak, adalah ahli wara' dan Zuhud." Wara' membuat manusia tidak dzalim, karena ia senantiasa berbuat adil, proporsional, dan wajar. Wara' menjauhkan kita dari KKN. Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin dan presiden yang Wara', karena itu ia tidak mau menyalakan lampu milik Negara, ketika seorang berbicara dengannya di luar urusan Negara. Fenomena Wara' di abad ini, ibarat benda di tengah keterasingan gurun yang gersang. Benda aneh, karena manusia modern justru nestapa dengan kemodernannya, hanya karena manjauhi kewara'an sehari-hari. Lalu individu-individunya mengabaikan moralitas, keluarganya berantakan, tatanan sosialnya hancur, hokum direkayasa, keadilan dirobohkan, kekuasaan dijadikan berhala. Itulah kewara'an yang terlempar di kesunyian manusia modern. Coba kita tengok di jendela luar sana. Tragedi manusia modern itu: Mereka mulai terasing dengan Allah, dan merasa tersentak ketika nama Allah disebut, bahkan sampai pada titik sinis, ketika Nama Allah diungkapkan. Mereka berselingkuh dengan hasrat-hasrat duniawi, lalu mengabaikan Allah, kemudian melupakan Allah sama sekali. Mereka memburu fatamorgana, walau pun berkali-kali mereka menderita karena angan dan imajinasinya, toh tetap saja mereka ulangi tindakannya itu. Mereka diseret oleh kegilaan-kegilaan atasnama kebebasan dan kepuasan, sebagai wujud eksistensi yang dibanggakan. Mereka terjebak oleh sebuah permaian, game, dan perjudian pasar bebas, sampai tingkat politik paling mengerikan:membunuh sesama, menghisap darah sesama, dan mengekploitasi sumber alam secara membabi buta. Allah dijadikan sebagai lambang bendera, kadang dikibarkan seperti upacara bendera, lalu diturunkan, untuk sekadar basa-basi religius. Manusia modern telah kehilangan harga dirinya paling mahal: Fitrahnya sebagai manusia, hamba Allah. Kewara'an telah sirna dari mereka, karena sikap wira'I dianggap sebagai ancaman dari kebebasan. -M. Luqman Hakiem-

Tidak ada komentar: