Sabtu, 23 Februari 2008

Meneladani Zat Yang Maha Suci


Meneladani Zat Yang Mahasuci

Manusia punya standar kesempurnaan. Namun sesempurna apa pun menurut manusia, pasti tidak menjangkau kesempurnaan Allah. Al-Quddus adalah satu nama Allah dalam Asma'ul Husna. Kata Al-Quddus (Yang Mahasuci), dalam Al-Quran sering didampingkan dengan kata Al-Malik (Raja atau Penguasa). Seperti terungkap dalam QS Al-Hasyir [59] ayat 23 dan QS Al-Jumu'ah [62] ayat 1. Hal ini menunjukkan kesempurnaan kerajaan Allah sekaligus menampik adanya kesalahan, pengrusakkan atau kekejaman dari-Nya, akibat kesucian yang Dia miliki.
Dalam kamus Bahasa Arab, Al-Quddus dimaknai sebagai yang suci murni atau yang penuh keberkatan. Dari sini muncul berbagai penafsiran. Salah satunya mengartikan Al-Quddus sebagai yang terpuji dari segala macam kebajikan.
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Allah Al-Quddus adalah Dia yang tidak terjangkau oleh indra, tidak dapat dikhayalkan oleh imajinasi, tidak terlintas dalam nurani dan pikiran. Saking sempurnanya, Dia tidak terkejar Dzat-Nya oleh kekuatan indra. Mata tidak bisa melihat Allah. Jangankan Allah yang Mahasuci, pelupuk mata yang paling dekat saja tak mampu dilihat. Indra kita terlalu rendah untuk menjangkau keagungan Allah yang menggenggam alam semesta ini.
Mahasuci Allah dari beranak dan diperanakan. Bagi umat Islam, Allah tidak diserupai dan menyerupai apa pun (laisa kamislihi syai'un). Karena sesuatu itu pasti makhluk, dan setiap makhluk pasti ada kelemahan. Sedangkan Allah mustahil lemah.
Mahasuci Allah secara Dzat dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan Allah yang gagal. Mengatakan gagal pada perbuatan Allah pun tidak layak. Allah tidak mungkin gagal berbuat sesuatu. Mahasuci Allah dari yang dianggap sempurna oleh makhluk. Manusia punya standar kesempurnaan. Namun sesempurna apa pun menurut manusia, pasti tidak menjangkau kesempurnaan Allah. Bagaimana mungkin manusia yang serba terbatas bisa menilai kesempurnaan Allah; Dzat penggenggam langit dan bumi?
Mahasempurna Allah dari apa pun yang didugakan makhluk. Kita ini milik Allah, tidak jatuh sehelei rambut pun kecuali atas izin Allah. Kita bahkan tidak berdaya hanya oleh satu gigitan nyamuk.
Teladan Al-Quddus
Ada hikmah yang bisa diambil dari sifat Al-Quddus ini. Pertama, sikapi semua ketetapan Allah dengan prasangka baik. Allah berjanji, "Aku sesuai prasangkaan hamba-Ku". Semua yang Allah takdirkan pasti membawa kebaikan. Maka jadikan setiap kejadian sebagai sarana evaluasi diri. Apa pun yang menimpa, harus dapat mengubah kita jadi lebih baik. Kuncinya husnudzan pada Allah.
Kedua, menyadari bahwa manusia tidak sempurna. Sebagai manusia, apa yang dapat kita banggakan bila tidak memiliki iman? Secara fisik kita kalah oleh binatang. Hanya imanlah yang membuat kita lebih tinggi dari makhluk lainnya. Maka tutuplah pintu kesombongan, dan buka lebar pintu ketawadhuan. Tiada orang yang rendah hati, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya. Dengan mengenal Allah, insya Allah kita akan mampu rendah hati.
Ketiga, siap dengan kekurangan orang lain. Kita harus siap dengan kenyataan bahwa orang terdekat kita tidak sempurna. Secara fisik bisa "sempurna", tapi akhlak tidak ada yang sempurna. Kesiapan mental menerima kekurangan orang lain, akan membuat kita lebih bijaksana. Orang yang stres dalam hidup adalah orang yang selalu ingin sempurna dalam segala hal. Kesempurnaan hanyalah milik Allah. Memang kita harus melakukan perencanaan yang matang, persiapan yang optimal, dan pelaksanaan yang hati-hati, tapi kita pun harus siap bahwa manusia itu (sekali lagi) tidak pernah ada yang sempurna. Wallahu a'lam bish-shawab.
( KH Abdullah Gymnastiar )

Tidak ada komentar: